Halaman

Jumat, 12 Maret 2010

Kisah Ali Bin Abi Tholib r.a. dengan Siti Fatimah Azzahra r.a

Copas dr brbagai sumber. Kbanyaan yg beredar versi Salim A. Fillah, tapi ini versi lain

Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta

Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..
barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan

Tapi,
kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh
Kekurangan teladan?
Mungkin..

Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat risalah yg dibawakan Nabi Muhammad s.a.w. sudah maju dgn pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yg menggantungkan harapan ingin mempersun¬ting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. Umar Ibnul Kha¬tab r.a. dan Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau ber¬tanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: “Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?”
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak utk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dgn tergopoh-¬gopoh dan terperanjat ia menyambutnya kemudian bertanya: “Anda datang membawa berita apa?”
Setelah duduk beristirahat sejenak Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya: “Hai Ali engkau ada¬lah orang pertama yg beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lbh dibanding dgn orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau ada¬lah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau utk dapat mem¬persunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya di¬tolak. Beliau mengemukakan bahwa persoalan puterinya diserah¬kan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi hai Ali apa sebab hingga se¬karang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar utk dirimu sendiri? Ku¬harap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu un¬tukmu.”
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. ber¬linang-linang. Menanggapi kata-kata itu Imam Ali r.a. berkata: “Hai Abu Bakar anda telah membuat hatiku goncang yg se¬mulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yg sudah kulupakan. Demi Allah aku memang menghendaki Fatimah tetapi yg menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah ka¬rena aku tidak mempunyai apa-apa.”
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yg memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a. Abu Bakar r.a. berkata: “Hai Ali janganlah engkau ber¬kata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”
Setelah berlangsung dialog seperlunya Abu Bakar r.a. ber¬hasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. utk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yg ketika itu sedang berada di tempat ke¬diaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: “Siapakah yg me¬ngetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab: “Bangunlah dan bu¬kakan pintu baginya. Dia orang yg dicintai Allah dan Rasul-¬Nya dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: “Ya tetapi siapakah dia itu?”
“Dia saudaraku orang kesayanganku!” jawab Nabi Mu¬hammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu sampai kakiku ter¬antuk-antuk. Setelah pintu kubuka ternyata orang yg datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya eng¬kau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yg ada dalam fikiranmu. Apa saja yg engkau perlukan akan kauperoleh dariku!”
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yg demikian itu lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib utk berkata: “Maafkan¬lah ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda Abu Thalib dan bibi anda Fatimah binti Asad di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda ya Rasul Allah adl tempat aku bernaung dan anda jugalah yg menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap utk melamar puteri anda Fatimah. Ya Rasul Allah apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dgn dia?”
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali apakah engkau mem¬punyai suatu bekal maskawin?” .
“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dgn terus terang “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu tentang diriku yg tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi sebilah pedang dan seekor unta.”
“Tentang pedangmu itu” kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib “engkau tetap membutuhkannya utk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh utk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh ka¬rena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maska¬win sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari ta¬nganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah ‘Azza wa¬jalla sebenarnya sudah lbh dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!” Demikian versi riwa¬yat yg diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap dgn perasaan puas dan hati gembira dgn disaksikan oleh para sahabat Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwa¬sanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham . Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”
“Ya Rasul Allah itu kuterima dgn baik” jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.

Kisah ini disampaikan disini, bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantisan. Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu. Bukan hanya namanya yg tak tersebutkan, bahkan gejolak hatipun tak ada yang tau. Remaja mana yg hatinya tak pernah bergejolak krn cinta. Tapi bagi Ali dan Fatimah, mereka tak mau cinta yg lain membesar melebihi cintanya pada Allah. Pernikahan adalah utk melengkapi ibadah, karena itu Ali akhirnya melamar Fatimah.

Lalu jika dirinya sendiri tak ingin hatinya bergejolak sedemikian rupa, bagaimana orang lain bisa tau dia sedang jatuh cinta.

Mungkin jargon “Biarkan indah pada waktunya” sudah sering kita dengar, bagaimana kl skrg kita tambah dg “Biarkan kejutan sebagai part terindahnya”.

mohon maaf
Yg benar dtg dari Allah, yg slh dr saya sndiri
Smoga kita bisa mengambil ibrohnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar